PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP) sedang giat-giatnya mencari sumber pendanaan untuk melunasi utang-utangnya. Salah satu cara yang bakal ditempuh manajemen adalah dengan menjual kepemilikan saham dan pengalihan hak tagih di PT Guntung Idamanusa.
UNSP menguasai Guntung tidak secara langsung, dalam hal ini lewat dua anak usaha yakni PT Grahadura Leidongprima (GLP) dan PT Sumbertama Nusapertiwi (SNP). GLP memiliki 38.119 saham atau setara 99,97% total saham Guntung. Sementara SNP menguasai 10 saham atau setara 0,03% saham Guntung.
"Terkait siapa pembeli dan nilai transaksinya baru bisa diungkapkan pada Oktober nanti," tukas B. Chandrasekaran, Direktur Keuangan UNSP, seusai kegiatan RUPS UNSP, Senin (8/7/2013).
Periode Oktober tersebut juga termasuk proses penyelesaian transaksi jual beli aset enam anak usaha yang bernaung dalam sub-grup Agri International Resources Pte. Ltd (AIRPL). Keenam anak usaha itu adalah PT Jambi Agrowijaya, PT Eramitra Agrolestari, PT Trimitra Sumberperkasa, PT Multrada Multi Maju, PT Padang Bolak Jaya, dan PT Perjapin Prima. Sayang, manajemen lagi-lagi enggan mengungkapkan rincian nilai transaksi dan pembeli aset enam anak usahanya ini.
"Kami sampaikan dulu perkembangan prosesnya ke OJK. Setelah itu baru kami sampaikan ke publik," tegas Chandrasekaran.
Tapi, berdasarkan catatan KONTAN, Guntung memiliki total aset Rp 1,07 triliun pada akhir Desember tahun lalu. Aset ini memang terbilang besar, mengingat Guntung merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan kepemilikan lahan mencapai 12.547 hektar. Guntung juga mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) hingga tahun 2038 mendatang.
Sementara itu, untuk aset enam anak usahanya tadi, UNSP hanya menjual aset tidak lancarnya saja. Transaksi jual beli tersebut belum selesai, tapi UNSP sudah menerima uang muka penjualan senilai US$ 9,89 juta.
Tentunya, dengan semua penjualan aset itu nantinya bisa menurunkan volume penjualan UNSP. Pasalnya, aset yang dijual manajemen berupa perkebunan.
Chandrakesaran mengakui adanya potensi penurunan tersebut. Namun, dia mengatakan jika perkebunan yang dijual adalah perkebunan yang memiliki cost of capital yang tinggi. "Produksi pasti turun, tapi hal ini juga bisa mengangkat net profit kami," pungkasnya. (Dityasa H Forddanta)
sumber
UNSP menguasai Guntung tidak secara langsung, dalam hal ini lewat dua anak usaha yakni PT Grahadura Leidongprima (GLP) dan PT Sumbertama Nusapertiwi (SNP). GLP memiliki 38.119 saham atau setara 99,97% total saham Guntung. Sementara SNP menguasai 10 saham atau setara 0,03% saham Guntung.
"Terkait siapa pembeli dan nilai transaksinya baru bisa diungkapkan pada Oktober nanti," tukas B. Chandrasekaran, Direktur Keuangan UNSP, seusai kegiatan RUPS UNSP, Senin (8/7/2013).
Periode Oktober tersebut juga termasuk proses penyelesaian transaksi jual beli aset enam anak usaha yang bernaung dalam sub-grup Agri International Resources Pte. Ltd (AIRPL). Keenam anak usaha itu adalah PT Jambi Agrowijaya, PT Eramitra Agrolestari, PT Trimitra Sumberperkasa, PT Multrada Multi Maju, PT Padang Bolak Jaya, dan PT Perjapin Prima. Sayang, manajemen lagi-lagi enggan mengungkapkan rincian nilai transaksi dan pembeli aset enam anak usahanya ini.
"Kami sampaikan dulu perkembangan prosesnya ke OJK. Setelah itu baru kami sampaikan ke publik," tegas Chandrasekaran.
Tapi, berdasarkan catatan KONTAN, Guntung memiliki total aset Rp 1,07 triliun pada akhir Desember tahun lalu. Aset ini memang terbilang besar, mengingat Guntung merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan kepemilikan lahan mencapai 12.547 hektar. Guntung juga mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) hingga tahun 2038 mendatang.
Sementara itu, untuk aset enam anak usahanya tadi, UNSP hanya menjual aset tidak lancarnya saja. Transaksi jual beli tersebut belum selesai, tapi UNSP sudah menerima uang muka penjualan senilai US$ 9,89 juta.
Tentunya, dengan semua penjualan aset itu nantinya bisa menurunkan volume penjualan UNSP. Pasalnya, aset yang dijual manajemen berupa perkebunan.
Chandrakesaran mengakui adanya potensi penurunan tersebut. Namun, dia mengatakan jika perkebunan yang dijual adalah perkebunan yang memiliki cost of capital yang tinggi. "Produksi pasti turun, tapi hal ini juga bisa mengangkat net profit kami," pungkasnya. (Dityasa H Forddanta)
sumber
0 komentar :
Posting Komentar