Beberapa tahun lalu, kedai tempat kami bertemu siang itu hanyalah tempat kumpul biasa. Tak ada makanan atau koneksi internet yang bisa dinikmati sembari bincang-bincang sore, seperti hari itu.
Pria bernama lengkap Ambrosius Ruwindrijarto ialah salah satu pendiri Kedai Telapak, nama yang lahir dari sebuah yayasan lingkungan bernama sama.
Telapak resmi berdiri sebagai badan hukum pada 1997. Karena tidak ingin memunculkan monopoli, format yayasan diubah menjadi perkumpulan pada 2002. "Kalau yayasan, saya jadi penguasa tunggal yang tak terbatas seumur hidup. Kalau perkumpulan, ini akan jadi milik bersama," cerita pria yang akrab disapa Ruwi itu.
Perjalanan Telapak berawal dari misi 'pembuktian diri' enam mahasiswa pecinta alam (mapala) Lawalata Institut Pertanian Bogor. Awalnya, Ruwi dan kawan-kawan ingin menyiasati kekurangan mereka sebagai mapala yang tidak mahir mendaki gunung atau tinggal di gua. "Kami sadar kurang heroik seperti mapala umumnya. Tapi, kami jago di bidang penelitian alam dan pendidikan sosial. Itulah yang kami manfaatkan," tutur mahasiswa lulusan Jurusan Perikanan Kelautan IPB itu, setengah berkelakar.
Keahlian Ruwi rupanya berhasil menuntun mereka pada permasalahan tempat tinggal masyarakat daerah, yaitu hutan. Kondisi tersebut tidak hanya dijumpai di satu daerah, tetapi juga hampir di seluruh tempat yang mereka kunjungi. Ironisnya, 'lawan' mereka ialah pihak yang penuh kuasa, tak jarang pemerintah. Di situlah perjuangan Ruwi dan Telapak dimulai.
Tanah adat
"Zaman dulu, hutan dan tanah milik Tuhan dan leluhur. Mereka yang masih hidup bukan pemilik, melainkan hanya menjaga dan mengelola hutan supaya lestari dan bermanfaat," Ruwi kembali berkisah.
Sayang, keadaan berubah setelah zaman penjajahan Belanda. Lahan yang tidak terdokumentasikan dengan surat-surat kemudian dilaporkan ke pemerintah dan menjadi milik negara. Selanjutnya, pemerintah melakukan eksploitasi sumber daya untuk memenuhi pasar Eropa.
Kondisi itulah yang terus berlangsung hingga sekarang. Semua tanah menjadi milik negara untuk diserahkan ke perusahaan. Tidak mengherankan apabila perjuangan mempertahankan tanah menjadi permasalahan yang hampir dijumpai di 15 daerah, tempat 247 anggota Telapak berada.
Sengketa tanah pun sedang terjadi tepat saat kami berbincang dengan Ruwi, hari itu. Pasalnya, sepasang suami istri anggota kelompok Telapak sedang berjuang mempertahankan tanah adat mereka di Muara Tae, Kalimantan Timur.
Keduanya bertarung dengan perusahaan sawit dan tambang asal Malaysia yang sedang merampas tanah 'terakhir' yang tersisa. "Dulu tanah mereka 11 ribu hektare. Sekarang sisa beberapa ratus hektare, itu pun mau digusur," ujar pria 41 tahun itu, lirih.
Hal demikian pula yang mendorong Ruwi untuk terus maju. Baginya, pertarungan semacam itu merupakan proses dari pertemanan, hubungan yang telah ia jalin bersama seluruh anggota Telapak di Indonesia. "Kami 'terjebak' untuk menyumbangkan sesuatu, di atas pilihan tinggal diam atau mengabaikan masyarakat adat," tutur pria berkacamata itu. Keputusan untuk menceburkan diri pada permasalahan itulah yang Ruwi ambil hingga detik ini. Berjuang bersama masyarakat adat, atau yang Ruwi sebut 'menemani orang lain'.
Perubahan dan penghormatan
Tidak ada aksi turun ke jalan atau koar-koar mengenai penegakan undang-undang. "Yang kami lakukan, ya,ngomong dengan wartawan, bikin press release. Pemberitaan media akan jadi pressure kepada pemerintah dan perusahaan. Karena, pemilik saham bisa saja bagian dari pemerintah juga," terangnya tentang kegiatan Telapak.
Baginya, perlahan tapi pasti, apa yang mereka lakukan sejak 1997 itu telah memberikan sedikit titik terang. Paling tidak, bagi kawan-kawan mereka yang masih beradu otot dengan penguasa daerah. "Di tingkat retorika atau kebijakan, lumayan ada perbaikan. Ada peraturan baru yang sudah membenahi persoalan teritorial serta memperbaiki masalah kerusakan dan pelestarian," terangnya.
Meski demikian, Ruwi tetap mengharapkan ada bentuk perlindungan yang lebih besar bagi masyarakat adat. Selain peraturan, ia meminta ada perwujudan total dari pihak mana pun. Dengan kata lain, perubahan total di berbagai sektor kehidupan.
Ia tidak ingin menyebut apakah pihak pemerintah atau swasta yang harus bertanggung jawab. "Buktinya, masih ada perusahaan pemerintah yang masih baik," tuturnya. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa porsi mereka yang tidak menghormati jauh lebih besar ketimbang mereka yang bersahabat dengan alam.
Untuk melanjutkan harapan akan perubahan total, Ruwi juga menyinggung hal lain lewat perjuangannya, yaitu dengan mengembalikan sikap hormat masyarakat, baik terhadap manusia maupun lingkungan.
"Susah sih memang. Perlu lebih banyak teman supaya bisa menyuarakan hal ini," terangnya. Namun, Ruwi tetap yakin, jika semua entitas sudah bisa menghormati alam, permasalahan Muara Tae tidak perlu terulang kembali.
sumber
Pria bernama lengkap Ambrosius Ruwindrijarto ialah salah satu pendiri Kedai Telapak, nama yang lahir dari sebuah yayasan lingkungan bernama sama.
Telapak resmi berdiri sebagai badan hukum pada 1997. Karena tidak ingin memunculkan monopoli, format yayasan diubah menjadi perkumpulan pada 2002. "Kalau yayasan, saya jadi penguasa tunggal yang tak terbatas seumur hidup. Kalau perkumpulan, ini akan jadi milik bersama," cerita pria yang akrab disapa Ruwi itu.
Perjalanan Telapak berawal dari misi 'pembuktian diri' enam mahasiswa pecinta alam (mapala) Lawalata Institut Pertanian Bogor. Awalnya, Ruwi dan kawan-kawan ingin menyiasati kekurangan mereka sebagai mapala yang tidak mahir mendaki gunung atau tinggal di gua. "Kami sadar kurang heroik seperti mapala umumnya. Tapi, kami jago di bidang penelitian alam dan pendidikan sosial. Itulah yang kami manfaatkan," tutur mahasiswa lulusan Jurusan Perikanan Kelautan IPB itu, setengah berkelakar.
Keahlian Ruwi rupanya berhasil menuntun mereka pada permasalahan tempat tinggal masyarakat daerah, yaitu hutan. Kondisi tersebut tidak hanya dijumpai di satu daerah, tetapi juga hampir di seluruh tempat yang mereka kunjungi. Ironisnya, 'lawan' mereka ialah pihak yang penuh kuasa, tak jarang pemerintah. Di situlah perjuangan Ruwi dan Telapak dimulai.
Tanah adat
"Zaman dulu, hutan dan tanah milik Tuhan dan leluhur. Mereka yang masih hidup bukan pemilik, melainkan hanya menjaga dan mengelola hutan supaya lestari dan bermanfaat," Ruwi kembali berkisah.
Sayang, keadaan berubah setelah zaman penjajahan Belanda. Lahan yang tidak terdokumentasikan dengan surat-surat kemudian dilaporkan ke pemerintah dan menjadi milik negara. Selanjutnya, pemerintah melakukan eksploitasi sumber daya untuk memenuhi pasar Eropa.
Kondisi itulah yang terus berlangsung hingga sekarang. Semua tanah menjadi milik negara untuk diserahkan ke perusahaan. Tidak mengherankan apabila perjuangan mempertahankan tanah menjadi permasalahan yang hampir dijumpai di 15 daerah, tempat 247 anggota Telapak berada.
Sengketa tanah pun sedang terjadi tepat saat kami berbincang dengan Ruwi, hari itu. Pasalnya, sepasang suami istri anggota kelompok Telapak sedang berjuang mempertahankan tanah adat mereka di Muara Tae, Kalimantan Timur.
Keduanya bertarung dengan perusahaan sawit dan tambang asal Malaysia yang sedang merampas tanah 'terakhir' yang tersisa. "Dulu tanah mereka 11 ribu hektare. Sekarang sisa beberapa ratus hektare, itu pun mau digusur," ujar pria 41 tahun itu, lirih.
Hal demikian pula yang mendorong Ruwi untuk terus maju. Baginya, pertarungan semacam itu merupakan proses dari pertemanan, hubungan yang telah ia jalin bersama seluruh anggota Telapak di Indonesia. "Kami 'terjebak' untuk menyumbangkan sesuatu, di atas pilihan tinggal diam atau mengabaikan masyarakat adat," tutur pria berkacamata itu. Keputusan untuk menceburkan diri pada permasalahan itulah yang Ruwi ambil hingga detik ini. Berjuang bersama masyarakat adat, atau yang Ruwi sebut 'menemani orang lain'.
Perubahan dan penghormatan
Tidak ada aksi turun ke jalan atau koar-koar mengenai penegakan undang-undang. "Yang kami lakukan, ya,ngomong dengan wartawan, bikin press release. Pemberitaan media akan jadi pressure kepada pemerintah dan perusahaan. Karena, pemilik saham bisa saja bagian dari pemerintah juga," terangnya tentang kegiatan Telapak.
Baginya, perlahan tapi pasti, apa yang mereka lakukan sejak 1997 itu telah memberikan sedikit titik terang. Paling tidak, bagi kawan-kawan mereka yang masih beradu otot dengan penguasa daerah. "Di tingkat retorika atau kebijakan, lumayan ada perbaikan. Ada peraturan baru yang sudah membenahi persoalan teritorial serta memperbaiki masalah kerusakan dan pelestarian," terangnya.
Meski demikian, Ruwi tetap mengharapkan ada bentuk perlindungan yang lebih besar bagi masyarakat adat. Selain peraturan, ia meminta ada perwujudan total dari pihak mana pun. Dengan kata lain, perubahan total di berbagai sektor kehidupan.
Ia tidak ingin menyebut apakah pihak pemerintah atau swasta yang harus bertanggung jawab. "Buktinya, masih ada perusahaan pemerintah yang masih baik," tuturnya. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa porsi mereka yang tidak menghormati jauh lebih besar ketimbang mereka yang bersahabat dengan alam.
Untuk melanjutkan harapan akan perubahan total, Ruwi juga menyinggung hal lain lewat perjuangannya, yaitu dengan mengembalikan sikap hormat masyarakat, baik terhadap manusia maupun lingkungan.
"Susah sih memang. Perlu lebih banyak teman supaya bisa menyuarakan hal ini," terangnya. Namun, Ruwi tetap yakin, jika semua entitas sudah bisa menghormati alam, permasalahan Muara Tae tidak perlu terulang kembali.
sumber
0 komentar :
Posting Komentar