“Waallah Billah..., Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menjusun rumah tangganja sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakjat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu...??”
Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.
Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.
Dialah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernamaBeureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh.
Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.
Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.
Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.
Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureuehmendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.
Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.
Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.
Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureuehyang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”
Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antaraDaud Beureueh dengan Kartosoewiryo.
Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai Pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya teradap negara tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya…??
sumber
Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.
Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.
Dialah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernamaBeureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh.
Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.
Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.
Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.
Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureuehmendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.
Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.
Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.
Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureuehyang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”
Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antaraDaud Beureueh dengan Kartosoewiryo.
Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai Pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya teradap negara tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya…??
sumber
0 komentar :
Posting Komentar